Thursday, October 8, 2009

Marjinalisasi Pancasila

Pancasila adalah ideologi bangsa dan dasar negara Indonesia.
Sayangnya, belakangan ini Pancasila hanya dijadikan jargon
dan slogan belaka.
Nilai-nilainya kerap dilupakan. Didasari fenomena ini, setiap
hari Selasa dan Kamis, Harian Umum Duta Masyarakat
menyajikan artikel, opini, dan reportase seputar Pancasila. Ini
sebagai ikhtiar membumikan Pancasila sebagai landasan idiil
bagi sistem pemerintahan dan landasan etis-moral kehidupan
berbangsa, bernegara, serta bermasyarakat.
————————————————————————————————-
PANCASILA yang sudah kita sepakati bersama menjadi dasar
negara kini seakan telah “ditelan bumi”. Kini Pancasila sudah tidak
lagi menjadi bahan perbincangan baik dalam forum resmi, seperti
seminar maupun obrolan santai di warung kopi. Masyarakat lebih
antusias membicarakan kerusuhan dalam pilkada, pro-kontra
seputar pemberian gelar pahlawan kepada almarhum mantan
Presiden Soeharto, acara-acara televisi yang semakin kurang
bermutu dan hal-hal lain yang kurang penting daripada
membicarakan bagaimana nasib Pancasila yang kini sudah mulai
hilang dari perbincangan publik. Pancasila hanya dijadikan bahan
seremonial dalam pelaksanaan upacara.
Kondisi di atas diperparah lagi dengan gejala bahwa kini akademisi,
pejabat sipil dan militer, serta politisi hampir tidak pernah
menjadikan Pancasila sebagai perspektif dalam mengomentari
berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negara kita. Mereka
lebih sering menggunakan perspektif teori-teori Barat yang belum
tentu sesuai dengan kondisi sosial budaya kita. Padahal nilai-nilai
yang terkandung dalam sila-sila Pancasila kalau kita kaji secara
mendalam dapat menjadi inspirasi dalam penyelesaian persoalan
yang kita hadapi dewasa ini.
Implementasi Pancasila
Secara formalitas hampir semua rakyat Indonesia mengakui
bahwa dasar negara kita adalah Pancasila. Pertanyaan mendasar
sekarang adalah apakah seluruh rakyat Indonesia, baik yang
menjadi penguasa maupun rakyat biasa sudah menerima
sepenuhnya Pancasila dan berusaha mengimplementasikannya
dalam kehidupan sehari-hari? Kalau memperhatikan kondisi
bangsa yang saat ini masih terpuruk dengan berbagai krisis yang
belum kunjung selesai, rasanya kita sebagai bangsa harus berani
mengakui bahwa nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya kita
amalkan. Pancasila masih sebatas retorika dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Nilai ketuhanan belum sepenuhnya diimplementasikan karena
kerukunan hidup beragama masih belum sepenuhnya tercipta.
Kasus Ambon dan Poso bisa menjadi suatu bukti. Nilai
kemanusiaan yang adil dan beradab masih belum terwujud
sepenuhnya, karena masih banyak kekerasan kita saksikan. Nilai
persatuan Indonesia belum menjadi pilihan sikap seluruh bangsa
Indonesia, karena masih ada saudara kita yang ingin memisahkan
diri dari NKRI. Nilai permusyawaratan perwakilan masih jauh dari
harapan, karena masih banyak saudara kita yang menyelesaikan
suatu persoalan dengan cara-cara kekerasan (anarkis). Nilai
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia juga masih belum
sepenuhnya terlaksana, karena angka kemiskinan dan
pengangguran masih cukup tinggi.
Kembali ke Pancasila
Solusi terbaik untuk mengatasi persoalan-persoalan kebangsaan di
atas adalah dengan kembali ke nilai-nilai Pancasila. Pertanyaannya
adalah bagaimana cara kembali ke Pancasila? Pertama,
membumikan Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Membumikan Pancasila berarti
menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
Pancasila yang sesungguhnya berada dalam tataran filsafat harus
diturunkan ke dalam hal-hal yang sifatnya implementatif.
Sebagai ilustrasi nilai sila kedua
Pancasila harus diimplementasikan melalui penegakan hukum
yang adil dan tegas. Contoh, aparat penegak hukum (polisi, jaksa,
dan hakim) harus tegas dan tanpa kompromi menindak para
pelaku kejahatan, termasuk koruptor. Jadi membumikan Pancasila
salah satunya adalah dengan penegakan hukum secara tegas.
Tanpa penegakan hukum yang tegas, maka Pancasila hanya
rangkaian kata-kata tanpa makna dan nilai serta tidak mempunyai
kekuatan apa-apa.
Kedua, internalisasi nilai-nilai Pancasila, baik melalui pendidikan
formal maupun nonformal (masyarakat). Pada tataran pendidikan
formal perlu revitalisasi mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (dulu Pendidikan Moral Pancasila) di sekolah.
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan selama ini dianggap
oleh banyak kalangan “gagal” sebagai media penanaman nilai-nilai
Pancasila. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan hanya
sekedar menyampaikan sejumlah pengetahuan (ranah kognitif)
sedangkan ranah afektif dan psikomotorik masih kurang
diperhatikan. Ini berakibat pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan cenderung menjenuhkan siswa. Hal ini
diperparah dengan adanya anomali antara nilai positif di kelas tidak
sesuai dengan apa yang terjadi dalam realitas sehari-hari.
Sungguh dua realitas yang sangat kontras dan kontradiktif.
Oleh karena itu pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan harus
dikemas sedemikian rupa, sehingga mampu menjadi alat
penanaman nilai-nilai Pancasila bagi generasi muda.
Pada tataran masyarakat, internalisasi Pancasila gagal menjadikan
masyarakat Pancasilais. Pola penataran P4 yang dipakai sebagai
pendekatan rezim Orde Baru juga gagal mengantarkan
masyarakat Pancasilais. Hal ini disebabkan Pancasila justru
dipolitisasi untuk kepentingan kekuasaan. Ketika reformasi seperti
saat ini, Pancasila justru semakin jauh dari perbincangan, baik oleh
masyarakat maupun para elit politik. Pancasila seakan semakin
menjauh dari keseharian kita.
Sungguh ironis sebagai bangsa pejuang yang dengan susah
payah para pendiri negara (founding fathers) menggali nilai-nilai
Pancasila dari budaya bangsa, kini semakin pudar dan tersisih oleh
hiruk pikuk reformasi yang belum mampu menyelesaikan krisis
multidimensional yang dialami bangsa dan negara Indonesia. Oleh
karena itu perlu dicari suatu model (pendekatan) internalisasi nilai-
nilai Pancasila kepada masyarakat yang tepat dan dapat diterima,
seperti melalui pendekatan agama dan budaya.
Ketiga, ketauladanan dari para pemimpin, baik pemimpin formal
(pejabat negara) maupun informal (tokoh masyarakat). Dengan
ketauladanan yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, diharapkan
masyarakat luas akan mengikutinya. Hal ini disebabkan
masyarakat kita masih kental dengan budaya paternalistik yang
cenderung mengikuti perilaku pemimpinnya. Sudah semestinya
kita bangga kepada bangsa dan negara Indonesia yang
berideologikan Pancasila. Mari kita kembali ke jati diri bangsa
(Pancasila) dalam menyelesaikan setiap masalah kebangsaan yang
kita hadapi.

No comments:

Post a Comment